Inlanderisasi dalam Sastra Indonesia (1) *

Hudan Hidayat **

Keju dan roti, senjata api dan organisasi, adalah benda dan cara hidup yang dibawa kolonialisme, puak manusia yang telah mendayakan akalnya atas alam, dan bertopang atas daya itu, mendiktekan kemauannya pada anak jajahan. Puak yang ditempa oleh alam yang ganas, sampai tata pikir dan hidup, seolah hanya urusan mengalahkan alam. Bukan bingkai manusia yang bekerja-sama dengan alam. Maka penaklukkan atas manusia, adalah terusan dari penaklukkannya atas alam.

Tapi kolonialisme itu, juga adalah suara yang terbelah, dari masyarakat yang tengah, dan terus, mencari jati-dirinya. Dimana hak azazi manusia bersahutan dengan kepentingan pribadi — bangsa. Agaknya, begitulah kebudayaan dan peradaban bergerak maju: unit manusia, dimana jiwa dan lakunya, pecah dalam kebaikan dan kebusukannya.

Dalam kasus Indonesia, ‘rasionalitas’ kolonialisme ini, dilawan oleh ‘rasionalitas’ yang terserak, oleh kekuatan yang belum tampil dalam tata pikir, tata laku, yang menasional. Inilah masa perlawanan fisik oleh orang-orang seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, dan sekalian pahlawan kedaerahan itu.

Tapi saatnya tiba, ketika tata pikir bangkit, dan mewujud. Dimana sekelompok elite yang terpelajar mengimajinasikan kehidupan bersama, sebagai sebuah komunitas yang diikat oleh kesadaran manusia modern. Dan elite ini menggalang kebhinekaan, menuangkannya ke dalam sumpah, ikatan yang kelak, ternyata, ikut mengilhami revolusi.

Begitulah ‘Sumpah’ itu dapat dibaca sebagai revolusi mental pertama: masyarakat Indonesia, meski berbeda-beda, adalah kesatuan dalam bingkai bertanah-air, berbangsa, dan berbahasa. Indonesia adalah suatu simpul, atau kesadaran yang berbeda tapi menyimpul, dalam penamaan Indonesia itu. Dan rentang waktu 1928 ke 1945, adalah sebuah masa dimana rasionalitas yang bangkit dan menyatukan, atau berusaha menyatukan: Sumpah Kaum Muda itu, mestilah mewujud ke dalam Kemerdekaan Kaum Indonesia. Tidak cukup mengatakan kita adalah bangsa Indonesia, tetapi kita adalah bangsa Indonesia yang harus menjadi, atau masuk ke dalam, tata organisasi modern.

Bila kita amati, teks Sumpah Pemuda yang disebut Sutardji Calzoum Bachri sebagai Puisi Besar itu, adalah pokok pikiran yang netral. Ia belum berkehendak akan kemerdekaan. Ia baru menyatakan, kita adalah bangsa Indonesia, dengan tanah air dan bahasa yang satu. Kalaulah ada kemerdekaan, atau hasrat untuk kemerdekaan, maka semua itu kemungkinan tafsir, bahwa Sumpah Pemuda, di dalam ceruknya, menghendaki Indonesia yang merdeka. Ternyata, ‘hasrat’ yang tersembunyi ini, membutuhkan 17 tahun untuk mencapai bentuknya yang sempurna. Barulah setelah itu, bangsa Indonesia benar-benar menandaskan isi jiwanya.

‘Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia…’ adalah sebuah pikiran yang ingin terbebas, atau membebaskan diri, dari bangsa lain, sebagaimana bangsa di dunia membebaskan dirinya.

Jadi kemerdekaan di sini, parameternya adalah bangsa lain. Tapi dasar Proklamasi ini, bertolak dari, dan atas nama, Tuhan sang pemilik alam. Maka Proklamasi itu, adalah tahapan lain dari Sumpah Pemuda. Titik tumpu politiknya, adalah lepas dari bangsa lain. Filosofinya, kemerdekaan adalah karena sang pemilik bumi adalah Tuhan, bukan manusia, atau raja. Maka sebagai sesama mahluk Tuhan, segala penjajahan harus lenyap, karena tidak sesuai dengan citra ketuhanan.

Makna kemerdekaan dan kebebasan, adalah mandiri menentukan hidup sendiri. Bukan ‘mengikatkan’ diri pada orang lain. Kemerdekaan, kebebasan, adalah kemampuan melepaskan diri, atau menandingi, jejak pemikiran ‘dunia’. Ia mampu mencari sumber orientasi sendiri. Mengambilnya langsung dari semesta. Gurunya bukan orang lain, tapi semesta. Semesta yang memantulkan ‘orang lain’. Semesta ini pulalah ‘guru’ orang Barat pertama, saat mereka masih berkutat dengan filsafat alam.

Jadi kalau pun ia bersentuhan dengan orang lain, maka sentuhan itu ada dalam bingkai kesejajaran. Bingkai saling memproduksi. Bukan menunggu produksi orang lalu meramaikannya. Sehingga kita sibuk berdebat tentang pikiran orang, bukan pikiran sendiri. Dengan ringkas, kemerdekaan, kebebasan, adalah kemampuan memproduksi isu: kita yang menentukan wacana, bukan orang lain. Sepanjang wacana ditentukan oleh orang lain, atau bersandar pada orang lain, maka sepanjang itu pulalah kita belum beroleh kebebasaan dan kematangan. Menjadi bangsa yang takluk.

Demikian juga dengan produksi benda dan jasa, arah orientasi ‘ilmu pertumbuhan’. Kemerdekaan berarti mental yang siap untuk tidak mengikuti logika pertumbuhan orang. Ia bisa menyetop ‘ilmu pertumbuhan’ orang, manakala dirinya merasa belum siap. Ia dapat hidup prihatin, mengajarkan pada masyarakat untuk mengolah alamnya, memenuhi kebutuhannya dari alamnya. Dengan mencari ilmu yang menganak tehnologi yang cocok untuk dirinya.

Dengan jalan pikiran seperti itu, maka terlihatlah sejarah pemikiran sastra dan budaya kita, adalah sejarah yang kalah. Sebab, kemerdekaan yang telah, dan sedang, direnggut itu, oleh Angkatan 45 diserahkan kembali kepada ‘dunia’: ‘Kami adalah ahli waris kebudayaan dunia…'(bahan Angkatan 45 dan Pujangga Baru diambil dari buku Ulrich Kratz, Sejarah Sastra Indonesia Abad 20). ‘Penyerahan kemerdekaan’ kembali ini, dapat dibaca sebagai neo-kolonialisme pertama.

Dengan ‘ahli waris’, mereka mengakui ‘dunia’ itu, yang pernah mengkoloni mereka, sebagai pusat. Dan tentu, tak ada lagi ‘pusat’ lain selain ‘dunia’ itu. Pikiran, antitesa, terhadap ‘dunia’, belum lagi beroleh ruang. Walau kemerdekaan telah di tangan, kemerdekaan itu haruslah dalam bingkai ‘dunia’, meski, dalam tubuh Surat Kepercayaan Gelanggang itu, mereka mengakui, ‘Kebudayaan dunia itu akan kami teruskan dengan cara kami sendiri’. Tapi tetap: sumber orientasinya adalah ‘dunia’: ‘Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri’.

Kita tahu, Angkatan Gelanggang, merumuskan peran untuk dirinya itu, dalam frame memperkuat situasi revolusi. Dimana kebudayaan haruslah tidak berdiam diri. Tapi turut memberi arti bagi arah dan perkembangan masyarakat. ‘Kita hendak melepaskan diri kita dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk…’, tetapi pelepasan, atau pemutusan, terhadap susunan lama itu, bukan demi mencari sumber penciptaan sendiri, tapi berpaling pada ‘dunia’ sebagai soko guru penciptaan.

Maka ironis: Angkatan yang mendabik diri, dan memuncak pada, citraan ‘binatang jalang’ yang ingin ‘hidup seribu tahun’ ini, ternyata demikian lembek tata jiwanya, dengan menyerahkan diri bulat-bulat pada ‘dunia’. Sebab, dengan spirit sebagai ahli waris kebudayaan dunia, maka sense of Indonesia yang dilansir oleh pencetus Sumpah Pemuda, atau Proklamasi diri yang dengan tandas dilakukan Angkatan 45, menjadi pudar lagi, menjadi menghamba kembali. Belum timbul semangat untuk mencari jalan sendiri. Jiwa merdeka belum lagi mengambil bentuk kesempurnaannya. Jiwa merdeka masih diletakkan dalam bingkai ‘dunia’.

Awal kekalahan, dan ketakberdayaan ini, sebenarnya sudah dimulai sejak orang-orang Pujangga Baru jatuh ke pelukan Barat, sambil meninggalkan bumi sendiri. Takdir, sebagai eksponen penting Pujangga Baru, seolah remaja puber, meski sudah diwarning keras oleh Sanusi Pane, tetap ngotot menjadikan Barat sebagai guru, sebagai sumber orientasi. ‘Tetapi meski bagaimana sekalipun tidak enak bunyinya… kita harus belajar ke Barat, meski bagaimana sekalipun sedih hati kita memikirkan yang demikian, dalam hal ini rasanya kita tidak dapat memilih’. Jadi sebenarnya, ada perasaan takluk, yang dibungkus dalam semangat kekaguman.

Bandingkanlah kata-kata Takdir: ‘Dalam hal ini rasanya kita tidak dapat memilih’, serta seruannya ‘Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat’, dengan kalimat pertama Surat Kepercayaan Gelanggang: ‘Kami adalah ahli waris sah dari kebudayaan dunia’. Keduanya berpaling, dan menjadikan Barat, sebagai sumber orientasi.

Jadi sebenarnya, dalam kedua Angkatan ini, sesungguhnya ada persambungan seolah guru dan murid, dalam soal ketakbebasan jiwanya, ketaksanggupan menemukan orientasinya sendiri. Dan dalam mencari orientasi itu, dapat dikatakan: Takdir kelebihan otak, sedang Chairil kelebihan hati.

**) Cerpenis dan pengamat sastra.
*) Republika.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *