Rainer Maria Rilke (1875-1926)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=321

Mawar,
ah penyangkalan belaka,
gairah pada yang tak terlelap
di sebalik begitu banyak Kelopak mata
(di batu nisan Rilke, 4 Des 1875 – 29 Des 1926).*

Sejarah hasrat riwayat tubuh, telah ada semenjak di kandungan ibu, pun jauh sebelum terciptanya bumi. Demikian penyair tidak dapat mengelak takdirnya, hadir seperti peralihan jaman, menggelinding tiada mampu menghindari. Pula insan unggul tetap berjuang keras menghadapi ruang-waktu percobaan; penjegalan, amukan warna kata-kata, musik apa saja menyerap dan disergap. Jalan hidup selempengan baja atau batu-batu dibungkus mata air, bukit disapu kabut, keluar dari ikatan indrawi. Merasuk gugusan bintang bayang-bayang jiwa, penyair tulen lebih gelap dari daging terbakar. Semua dari ketaksangkaan meski atas kesuntukan, yang diemban tidak lepas dari jeruji sejarah.

Manusia pilihan bukan segebok keisengan, ada tanjung runcing mata pedang, darah menetesi ujung pisau, embun kesepian, ketampanan malang digariskan. Tinggal menajamkan hati mata curiga oleh perubahan waktu perpindahan letak, menyiapkan gulungan rambut kusut merana. Lantas penyair-penyair lain memetik anggurnya, meraup segara jiwa menghisap keayuan sukma. Tidak mengurangi ketetapan-Nya malang melintang, nasib mujur terlupa, mata sayu lelah menangkap seluruh.

Bagiku Rilke pemuda tangguh menatap jalannya hayat, tidak goyah meski puisi-puisinya dicetak terbatas. Seperti pangeran telah faham kisah kerajaannya, dan dibawa kemana rakyatnya, para seniman. Pundak keras lebih dari perhitungan, matahari mengelupas kulit dan jauh mengerti tempaan bertubi-tubi. Kesetiaan menyunggi beban kata, membuatnya terkena fitnah, pengusiran, lebih merana dari anak hilang, sesalnya pun ditulis begitu indah.

SESAL
Rainer Maria Rilke

Segalanya jadi bayang
dan fana.
Aku yakin, bintang,
yang berkeredapan di atas sana,
sudah mampus berjuta warsa silam.
Aku yakin, dalam perahu,
yang melintas menderu,
kudengar gema ucapan seram.
Di dalam rumah, jarum jam
berhenti berdetik…
Di rumah yang mana?…
Aku ingin melangkah keluar dari bilik
jantungku dan melenggang di bawah angkasa.
Aku ingin berdoa.
Dan dari jutaan bintang yang padam
satu tersisa ada.
Aku yakin, aku faham,
bintang mana
yang masih berdiam,-
yang di ujung ekor cahayanya
nampak bagai sebuah kota putih seluruhnya…**

Penyair hidup dalam kekonyolan menerus, dipikulnya sepenuh kesadaran bulan matahari, sekejap menangguhkan beban ke bumi, keluar dari peredaran ketepatannya, masa di luar waktu kebanyakan. Pemeras intisari hayat terjatuhnya bola mata, dilihat kelereng bertabrakan keluar galaksi nalar sebelumnya. Jauh melampaui kesadaran jaman, sebab bersayap ke ujung yang belum tertandakan.

Keindahan mawar abadi, darah bergolak bermekaran harum hayati, makna pencari harus melewati lubang sempit tangkai keras merunduk terbentur. Nafas-nafas kadang tak terkendali hampir ditelan maut berkali-kali suntuk ingin bunuh diri. Di rasanya bukan goda, tapi pendewasan sesal melampaui batas-batas atmosfir hati terpecah. Sayap patah terbang di atas kesadaran, menentukan pandangan nilai atau eksekusi harus dilakukan, sebelum tangan lain merebut yang telah dipastikan.

Tubuh hangat pergolakan kian matang buah-buahan siap dipetik kapan pun musim mendapatkan. Ini jantung memberi arti, nadi mengeluarkan teka-teki, hawa malam siang tak henti mencari. Berlari dengan kaki-kaki tertancap duri, batu-batu bara api, pukulan bertubi serta diringkus dingin menyayat tulang, mematahkan balung. Sendi-sendi dirasuki hujan hujatan, rawa-rawa tiada bulan, hanya kilatan petir menandaskan kecantikan teratai. Jiwa sejati; penyair tulen tak pernah mati, andaipun kuburannya sudah tak dapat dikenali.

Aku rasakan penyair atas kutukan para nabi, disumpahi jadi insan setengah gila di ambang mati, sebab percaya ayat-ayat harus disampaikan dari keblingeran, pantulan pergantian warna cakrawala melenakan. Jiwa tak tersentuh benda memasuki alam rahasia, bagi bersanggup tabah mereguk nikmatnya. Yang tidak gadaikan tubuh jiwanya terangkat, memasuki pusaran meninggalkan bayangan. Kata-kata manis dicecapnya di bathin sakit, dan ketika tersenyum hilanglah kesadarannya.

Sungguh berat takdir tak dipungkiri, mundur selangkah, lumat perjuangan, jika maju tanpa bekal sama tak bermakna. Karena ruang waktunya mematenkan setingkap lapisan jiwa, sekerak bumi pasrah digodok musim hujan kemarau perimbangan. Di sini kemampuan bernafas terolah, sebaik-baik sangkaan membumi langit kesadaran. Melewati kesilapan tenggang menegangkan, yang tiada sudah hadir, seperti pendaki mengenali mata angin, tak bakal tersesat dalam diri.

BAUDELAIRE
untuk Anita Forrer/14 April 1921

Cuma penyair seorang dunia disatukan,
yang cerai berai berjauhan.
Yang indah gila-gilaan ia ungkapkan,
meski baginya siksaan, masih juga ia rayakan,
tak habis putus reruntuhan ia bersihkan:
bahkan sekaligus kemusnahan akan segala.***

Ulrike Draesner berkata: “Jika Puisi tertuju pada-yang-tak-nampak, lalu apa itu yang-tak-nampak? Bagi Rilke, ia akan menjawab: bukan ikhwal, tapi sebuah laku sebuah sikap. Ia menyebutnya “takjub.” Bukan jenis takjub seperti pada filsuf dalam memahami. Berpuisi ialah ketakjuban pada lambang-lambang. Berjalan di muka, tafakur, dan menghayati dalam lambang-lambang.”

Di sini kodrat tegar nelangsanya penyair, kutukan tak henti meringkusnya, apalagi saat mencapai ketakjuban. Perasaan atas ufuk nalar diwaktu senjakala bathinnya terampas keindahan gamang. Hadir keampangan aneh, hampa yang ganjil, ditekan rasa sakit memberat padat. Terus dijejakkannya inspirasi demi mengekalkan kata-kata lepas, takdir yang entah sia-sia. Atau di sini, dunia mencapai klimaknya, tidak putus dirundung kesepian merindu, walau tanpa segelas kohwa.

Rilke lambang kejantanan, apapun di depannya diterjang laksana kaki-kaki baja. Kabut tersibak, senyum manis tampak, tetesan embun terlihat hati melampaui akal. Misteri melingkupi kenyataan yang dicium peluk kesungguhan hebat. Tak bakal terlupakan lumatan yang sudah disadap kangen tak tertahan. Paras tak mungkin terlupakan, senyum terkenang menjelma bayang-bayang ingatan, di setiap malam siang matahari bulan menyertai. Rilke, bintangmu masih ada.

*,**,***) terjemahan Dudy Anggawi, dari buku Puisi-puisi Rilke, Henk Publica.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *