John Keats (1795-1821)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=361

TENTANG KEMATIAN
John Keats

Mungkinkah mati itu: tidur, bila hidup hanyalah mimpi,
Dan gambaran bahagia luput seperti hantu berlalu?
Segala kesenangan fana seakan-akan hayali.
Betapapun, hemat kita: matilah terperih antara pilu.

Alangkah anehnya: insan harus mengembarai bumi,
Dan walau hidup serba sengsara, namun masih saja
Setia dijalannya keras dan tak ayal berani sendiri
Menatap bencana nanti, yang hakikatnya bangun belaka.

John Keats (1795-1821), penyair Inggris lahir di London meninggal di Roma. Keturunan murba, karenanya dalam pendidikan jauh tercecer dibanding temannya; Byron, Shelley. Walau demikian berhasil mencapai tingkat pengetahuan setara, berkat rajin belajar sendiri. Mulai mengarang usia muda, menarik perhatian orang-orang terkemuka pada panggung kesusastraan Inggris di jamannya, Ligh Hunt dan William Hazlitt yang kemudian sebagai pelindungnya. Mula-mula terpengaruh Ligh Hunt mengikuti perhimpunan Cockney, yang menggunakan bahasa sehari-hari dalam kegiatan bersastra. Karenanya mendapat serangan dari golongan lain. Himpunan sajak pertamanya terbit 1817: Poems, lalu berturut-turut buahpena lainnya, Endymion (1818), Lamia, Isabella, The Eve of St. Agnes, serta sajak-sajak hasil keharuan cintanya kepada Fanny Brawne. Sajak besarnya penghabisan tak sampai diselesaikan, Hyperion. Keats meninggalkan Inggris karena sakit juga kasih tak sampai, berangkat ke Itali tak lama sesudahnya meninggal di Roma. Antara tiga penyair jaman romantik Inggris yang bersahabat; Byron, Keats, Shelley -ketiganya mati muda- Keatslah dalam pandangan modern dianggap terbaik. {dari buku Puisi Dunia, jilid II, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka 1953}
***

Membaca puisi-puisi terjemahan serupa menyentuh jasad dalam cermin, meraba perkirakan sejauh menebar jejaring kemungkinan, dapat benar mencapai yang dituju kembangkan.

Laksana merentangkan tangan di pagi hari meresapi kehadiran kabut atau membaca ulang berbagai sudut pandang puitik, kiranya taksiran sampai pada ketepatan.

Andai tak terjamah-jemah sama sekali harapan penyairnya, dapat ambil bebulir kata-katanya. Ku kira yang menyentuh kedalaman kalbu benar adanya.

Jika makna suasana puitik bahasa universal, diri ingin mendekati, mendekap erat guna mengerti hakikat puisi dari beberapa terjemahan.

Ku rasa pelajaran sehari-hari kelak menentukan wewarna bentuk formula tersendiri, sadar atau tidak jarak terjemahkan pengertian sampai.

Memang tidak peroleh pembenaran seratus persen, toh diri ini bukan lahir dari beberapa bangsa yang tradisinya berbeda, tapi pengalaman menyepakati bahwa sastra milik dunia.

Seminimnya menyaksikan semangat kreatif yang menggila, bisa dicontoh bagi bangsa dirundung masalah juga bencana.

Yang jika tak disadari akan meruntuhkan mental berbangsa demi setara, sederajat insan sama-sama penghuni bumi atas kuasa-Nya.

Demikian keyakinan, umpama tangan memukul bidang padat meski sakit kalau dilatih menambah kekuatan, walau sebagian tulang retak imbalannya sanggup menghantam keras.

Juga perdalam manahan nafas di sendang, mula-mula dada tak tahan namun dilanjutkan memiliki ketahanan mempuni bernafas panjang nan jernih, kala di luar rendaman.

Betapa bahasa puisi laksana tiupan bayu, lama-lama menangkap hembusannya lewati kesadaran, tentu mengenal beberapa corak karekternya.

Sejenis itulah pendekatanku mempelajari kebebalan berharap tergerus kepicikan sekadar percaya diri.

Setelah mengupas Byron dan Shelley, kini restui menyimak pelahan maksud penyair Keats atas puisinya.

Kuharap apa-apa tertanda bisa mengurangi beban penasaran, syukur melenyapkan tanggul keraguan, meski tetap merasakan was-was.

Ku pikir itulah debaran gelisah terpancang berharap kehadiran bersesuaian ketakdiran hayat.

Demi mudah kucerna, kutafsir dua baris dua baris puisinya. Semoga berkenan menggayuh rupa kata-kataku yang kadang sulit dipegang. Tapi kuandai genggaman lembut bisa diterima dan diteruskan.

I
Membaca puisi yang memakai bahasa sehari-hari kudunya memetik peristiwa di balik penalaran tersaji. Keats betapa merasa hidup dalam kandungan misteri serupa mimpi, tidur-nya mati.

Kesenangan-kesedihan lepas tak terkendali gambarannya dilesatkan kemungkinan mengendarai perubahan masa. Manusia bengong hilang kesadaran ditarik kejadian pilu, terus pertanyakan yang sesungguhnya teralami.

Yakni hakikat hayat di dunia, apakah hanya mampir minum (dari peribahasa Jawa), atau melemparkan batu tiada mengetahui di mana jatuhnya nanti?

II
Betapa Keats merenungi hidup mewangi bergelimang mewah tetaplah hayali, dibanding kelezatan fikiran pesona kecantikan bathin menerima pengajara. Itu pun tak abadi sebab kesedihan takkan habis di muka bumi.

Lantas datang pemahaman, kesakitanlah nikmat tiada banding, namun masih diselumuti halusinasi. Atau taman kembang mekarkan ribuan harum, setelah mengolah bencah, seakan tercapai kelopak bahagia.

Musim berganti, ladang diolah kembali seair sungai dialirkan guna tak keruh mencemari. Dan kematian seniscaya keajaiban masa-masa kelahiran di sisi kepedihan.

III
Mentakjubi warna hidup sangat beragam di samping keganjilan menghidupi nafas kalbu fikirannya, dan kesakitan melahirkan cabang pengetahuan sebagai permainan menentukan sikap yang dihadapi.

Mengembarai masa lalu dari catatan silam demi pelajari kebuntuan membelit langkah. Data dikelompokkan tiap kesadarannya, demi mudah memindahkan beban sampai taraf kefahaman universal. Dan meski mencapai kebenarannya tetap dirundung gelisah.

Ini akar musabab, betapa jiwa-jiwa rumpil gampang dihanyutkan. Hanya yang sudi berdamai segala soal, menerima fitroh masing-masing terus pada kesengsaraan gamang merebut pengertian.

IV
Keats menyadari beban berat insan berasal kepemilikan kalbu fikiran, diharuskan bersungguh mengolah keduanya dengan berani menatapi bencana, demi peroleh nikmat di jalan sengsara.

Di penghujung puisinya ditaruh yang dipanggul di sudut ruangan, tapi masih dipandangi dalam-dalam berulang, menafsirkan bolak-balik kefahaman guna tetapkan kehendak kepastian.

Was-was terbit diperhatikan lewat tatapan tajam menyetiai genggaman tangan, pada benang layang-layang diterpa angin kencang, hawatir-hawatir luput diharusnya mengulang yang dirindukan.

Sedikit-sedikit disimpan agar tak lenyap maknawi kehadiran, meski saat lelah hanya tampak bangun belaka, tetapi tidakkah tidur panjang laksana kebodohan?

Keats sumbangkan hasana puitik agar tak lenyap pengamatan dilalui teramat dalam pula kerasnya kehidupan, meski sesaat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *