Khalil Gibran (1883-1931)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=433

“Kami sangat menyayangimu
meski dengan kasih yang membisu
terlindung di balik tabir terselubung.
Dan kami masih selalu mengharapmu
bukan dalam basa-basi yang semu? (Khalil Gibran)

Khalil Gibran lahir di tanah Beshari, Lebanon. Kala itu masuk Provinsi Suriah, Khilafah Turki Utsmani. Pada tanggal 6 Januari 1883 dan meninggal 10 April 1931. Seorang penyair sekaligus pelukis, yang menghabiskan sebagian besar masa produktifnya di Amerika Serikat.

Adalah sosok pelamun yang menjelma sastrawan besar. Bakat alamiahnya luar biasa, dibangun dari kitab-kitab lama. Serupa akar-akar menyedot inti sari bumi, tiada penyangkalan.

Mengikuti ritme hayati kepolosan bocah, keluguannya menghadirkan keayuan. Jiwa-jiwa lembek terkuras tenaganya, oleh musik kenangannya mengangkat kesambillaluan.

Membius harapan, sebab baginya matahari tiada patut dilawan namun diresapi. Dedaun pemikiran melebar rindang bergoyangan, melenakan pencari.

Pemilik daya serap ampuh atas ketampanan kata-kata tak melepaskan satuan jejiwa pembaca. Dendam belati dingin sehalus sampai keikhlasan.

Dirinya terbuai kidung sendiri, berlalu tanpa keterkejutan, mengaliri sungai-sungai hayat menyamudra.

Mendaki kegelapan kangen pada terangnya rindu tersampaikan awan.

Yang berarus peroleh kesegaran membisu, menelusuri relung jiwa. Para penyimaknya mendapati buah-buahan berlimpah, tergantung di mega-mega.

Hanya kerendahan hati hujan tiba, melewati ketenangan mencapai wewarna kehakikian.

Pemampu kepercayaan kuat terjadi; tanah digedor kalbu, langit digayuh pilu, keselarasan bathin mencapai yang dilamunkan.

Kabut turun menjelma bintik embun, hempasan laut garamkan pantai, lalu kesetiaan mendapati limpahan pahala.

Was-was musnah, hantu murung selalu mengikuti. Melewati laluan sunyi tapakan khusyuk terjerat. Tak hendak jejakkan kaki, lumpuh angan-angan terlampau tinggi.

Tatkala turun sekapas randu tiada kendali nurani. Maka separuh insan percaya padanya, separuhnya lagi meninggalkannya.

Kesunyian malam membius helaian rambut ketakutan sesuara burung kematian. Ada kehawatiran, namun diteruskan merajah menuruni onda-ondakan masa.

Andai naik segemintang di angkasa, bayangan bulan di telaga memberi makna, lantas kesepian kamboja di pekuburan sesal menebarkan aroma.

Ada tak dapat diraih tapi sedap dirasai, menempuh pebukitan rindu menuju jaman diperkirakan kekasih.

Jiwa santun bersalam damai, sukma lembut merenggut ruh, pekabaran bayi terlahir suci;

menangis ingin perhatian lebih, arus rahayu penghidupan, nafas-nafas keluar-masuk menfitrikan badan.

Nabi kesepian menangis dalam bathin kata-kata, menghibur lewat tarikan kalimah, menari di atas panggung seluruh terdiam.

Tak tahu penonton terkagum atau berpulang, sebab pancaran cahayanya, sekuat tak kenali yang terjadi.

Gibran berkata: “kecerdasan pikiran hanyalah nyanyian burung murai di awal musim semi yang lamban.”

Ini mendamaikan selisih agar peperangan tak menerus di muka bumi. Hidupnya derma kasih menyayangi, berpeluk memahami lahirnya bibit tumbuh lestari.

Menebarkan jala sejauh-jauhnya menerima yang diperoleh sedari tangkapan tulus.

Hanya hati perbedaan berjalin, sebab akal berbahaya jikalau ditopang hasrat serakah. Seperti binatang liar siap menerkam mangsa.

Ia seakan berkata; damaikan nalarmu dengan kerendahan kalbu. Sebab batu mutiara berkilau; sesudut menerima cahaya pun memancarkannya.

Jikalau nalar kalbu rukun, nyanyian rindu sentausa menyadap keringat pengunjung berduyun-duyun. Dan pekabaran rantau, dituturkan berkesungguhan senyum.

Yang tidak dimiliki cukup menginsafi kisah alunan masing-masing. Berharap keharmonisan berkicau dari kedalaman jarak telah ditanak pengalaman, diperoleh di jalan kembara dijumput pelahan sangat tekun.

Sampai batu-batu diterjang kendaraan, mewujud tekat membulat, pula bencana alam pelajaran saling mendoa sesayap kasih sayang sesama;
sejiwa kesepian mati suri, akan sadar bangkit kembali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *