PENYAIR TAK DIKENAL DARI YUGOSLAVIA

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=436

Waktunya aku mencium karya dari seorang tak bernama atau tiada mengenali. Aku dapati dari buku Puisi Dunia, jilid I, susunan M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952. Sebab tulisan di sana memakai ejaan lama, maka aku gubah lewat ejaan yang kupergunakan kini. Di bawah ini puisi PENYAIR TAK DIKENAL asal Yugoslavia:

KORDONU

Di Kordonu di padang bata,
Ibu mencari mayat anaknya.

Demi berjumpa, di atas kubur ia
Tunduk berkata pada anaknya.

O anakku, biji mata ibunda,
Remajamu dulu kemana penyapnya?

Ayahmu menangis, ibu meratap,
Semoga sudi kuburmu menyingkap.

Dan kubur tiba-tiba terbuka,
Si anak bicara dengan bundanya:

Bundaku sayang, hentikan keluh,
beban tangismu berat bagiku.

Lebih berat ratap-tangismu
Daripada tanah hitam itu.

Ibu, pergilah, sudilah pulang.
Jangan kuburku ibu risaukan.

Ibu, sampaikan kepada rakyat
Supaya berjuang agar merdeka.
***

Sungguh kental darah juang penyair tak dikenal. Tubuh jiwa terpatri, kata demi kata menandaskan hidup memberat.

Tetes-tetes keringat dentingan logam di tanah pekuburan. Perang atas peperangan hidup, di antara kembang hayat muslihat.

Kepahitan mengenyangkan dirinya tabah sampai padang bata. Mayat-mayat tersungkur, burung-burung bangkai berpesta. Nyawa melayang biasa.

Tertunduk rukuk sujud, hidup bersegala cobaan diterima, dirasai khitmat pesona semanis menyaksikan cakrawala.

Baju berdebu, terkoyak cabikan pedang mesiu. Daging pecah memburai, tak sempat sempoyongan. Kecuali cengkeraman syakaratul maut menanduknya pingsan.

Tak sadar diselimuti lelap tanpa suara, bayangan mimpi. Hanya tangisan ibundanya menghadirkan kembali puisi.

Tembang perjuangan terus dikumandangkan berlantang, meski seolah tanpa perubahan.

Tempaan usia digayuh ke muara yang didamba. Bukan nama besar, tetapi sabda-sabda melekat dalam sanubari sesama.

Mengurbankan hidup memenuhi cinta terpastikan kalah. Namun yakin di balik lipatan jaman terang, cahaya hayati dinafaskan.

Seorang tak gentar halangan tebalan baja intrik politik dimainkan penguasa. Merangsek, karena tiada waktu menunggu apalagi berleha.

Selalu menghidupi keimanan, kesabarannya menyamudra. Menggoyang kapal berlayar keraguan, angin kencang melesat tak terasa.

Ombak semangat tak lepas mengingat kejadian. Peristiwa baginya guru memberi petuah, merestui kaki-kaki tegar melangkah.

Tiada was-was kewaspaan melekat. Begitulah bercerita pada ibunda nasib, bahwa hidupnya bahagia.

Oleh kalimahnya mampu gairahkan jiwa-jiwa sebangsa tertindas. Dan tangis kelopak mata hampir pecah.

Atas biji mata sejarah menyaksikan peperangan tak habis-habisnya, kecuali sama-sama binasa.

Riwayatnya bermuatan balada padatan puisi, ada rerongga nafas pembaca mencerna lebih dari terihwalkan:

suara, bayangan, getaran perasaan, terlukis di ruang antara. Jarak patahan kata mendiami misteri, melebihi nyata dari pertemuan.

Ada riuh menyundul sarang bertetengger di dahan langit. Gemanya memekatkan telinga angkasa, kala rintihan saling menyatu dekapan.

Dentingan nyaring lengkingan jauh ke peredaran masa kembara, menemui nasib-nasib serupa. Menjelma takdir kematangan hati meretaskan abadi.

Sewaktu darah air mata keringat tersapu debu-debu perjalanan. Petir dihujan deras gigilkan nyali kegelapan malam.

Berbekas sedalam lubang codetan nama pada kuda-kuda jantan. Di sinikah kesejatian? Darah terkoyak muncrat mengering.

Hujan pertama suburkan ladang berontak, mensucikan nurani pejuang. Naluri diemban kefitrian yakin masa depan, atas kaki-kaki membatu pengabdian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *